(021) 50829292 (IGD) (021) 50829282 Pencarian

Seminar Awam Bicara Sehat ke-47 Ayo Kenali Mikrotia (Telinga Kecil)

RSUI kembali menggelar rangkaian seminar awam dengan tajuk utama: “Ayo Kenali Mikrotia (Telinga Kecil)!”.

 Pendengaran merupakan salah satu bagian dari panca indera yang sangat penting untuk kehidupan manusia. Ketidaksempurnaan fungsi indera tentu akan berpengaruh terhadap kehidupan seseorang. Ketidaksempurnaan fungsi pendengaran dapat disebabkan oleh kelainan organ indera tersebut, salah satunya adalah kelainan telinga. Microtia atau terlinga kecil terjadi ketika telinga luar kecil dan tidak terbentuk dengan baik (CDC, 2021). Ketidaksempurnaan bentuk telinga ini dapat ditangani. Masyarakat perlu mengenal apa itu mikrotia dan hal harus dilakukan jika ada keluarga, kerabat, atau kenalan yang mengalami mikrotia.

Oleh karena itu, Seminar Awam Bicara Sehat hadir untuk memberikan pengetahuan dan informasi seputar isu yang diangkat, yang utamanya ditujukan bagi para orang tua. Seminar ini juga turut dilaksanakan untuk memperingati Microtia Awareness Day tanggal 9 November lalu. Seminar ini dimoderatori oleh dr. Niken Lestari P., Sp.THT-KL(K) yang merupakan dokter spesialis THT-KL di RSUI.

Narasumber pertama yaitu dr. R. Ayu Anatriera, MPH, Sp.THT-KL yakni seorang dokter spesialis THT-KL di RSUI. Dokter Ayu yang akrab disapa dr. Raya membawakan materi dengan tema “Apa itu Mikrotia?”. Dokter Raya mengawali materi dengan menjelaskan proses pembentukan telinga manusia. Selama enam minggu kehidupan dalam rahim, telinga luar mulai berkembang di sekitar ujung celah cabang pertama, hingga ketika lahir sudah terbentuk dengan lengkap. Sekitar 95% dari ukuran telinga dicapai pada usia 6 tahun dan hampir 100% pada usia 10 tahun. Panjang aurikula bergantung pada tinggi badan serta umur seseorang. Telinga luar berfungsi untuk menangkap dan menyalurkan gelombang suara ke struktur telinga tengah.

Mikrotia adalah kelainan bawaan anak lahir dengan telinga berukuran kecil dan tidak sempurna. Penyebabnya belum diketahui, multifaktorial dan masih diteliti. Beberapa penelitian mengatakan kejadian mikrotia ini berhubungan dengan paparan teratogen seperti thalidomide, isotretinoin, serta beberapa sindrom.

“Mikrotia biasanya disertai dengan gangguan pendengaran. Sekitar 1 dari 2000-10.000 anak lahir dengan mikrotia. Sebanyak 90% terjadi pada 1 telinga, 10% terjadi pada kedua telinga. Kejadian mikrotia ini terjadi kebanyakan pada anak laki-laki dibanding perempuan” uangakpnya.

Anak dengan mikrotia dapat tumbuh normal dan sehat, namun terkadang timbul rasa kurang percaya diri pada anak. Mikrotia juga dapat disertai dengan atresia liang telinga (liang telinga sempit atau tidak ada). Derajat kelainan bentuk telinga biasanya berkaitan dengan derajat kelainan telinga tengah.

Dokter Raya mengatakan bahwa ada empat derajat kelainan bentuk telinga, yaitu Grade 1: dimana semua normal hanya saja ukuran telinga lebih kecil; Grade 2: ada struktur telinga yang tidak normal; Grade 3: telinga berbentuk seperti kacang (peanut shapes); dan Grade 4: telinga tidak ada sama sekali.

Di akhir, dokter Raya mengatakan bahwa sebelum melakukan tindakan penanganan mikrotia, penting untuk dilakukan penilaian fungsi pendengaran.

Narasumber kedua yaitu Dr. dr. Mirta H. Reksodiputro, Sp.THT-KL(K) yakni seorang dokter spesialis THT-KL di RSUI. Dokter Mirta membawakan materi dengan tema “Kenali Penanganan Mikrotia”. Dokter Mirta mengawali materi dengan menjelaskan anatomi telinga. Mikrotia adalah malformasi daun telinga dimana aurikula eksterna mengalami perkembangan abnormal. Jika liang telinga tidak menerima hantaran suara untuk menggerakan gendang telinga dan tulang pendengaran, maka suara yang masuk akan menjadi lebih kecil.

Tujuan operasi rekonstruksi selain untuk memperbaiki fungsi pendengaran juga untuk kosmetik. Pada atresia liang telinga bilateral masalah utama ialah gangguan pendengaran. Untuk mendiagnosis hal tersebut, perlu dilakukan skrining terlebih dahulu karena belum tentu anak dengan kelainan bentuk daun telinga juga mengalami gangguan pendengaran.

Bayi baru lahir biasanya dilakukan skirining pendengaran dengan OAE 3-7 hari kelahiran yang kemudian diskrining ulang setelah 3-6 bulan, OAE adalah suatu alat yang ditempatkan di lubang telinga dan memberikan hasil interpretasinya. Namun pada anak dengan atresia liang telinga bisa dilakukan pemeriksaan BERA. Setelah diagnosis ditegakkan sebaiknya pada pasien dipasang alat bantu dengar, baru setelah berusia 5-7 tahun dilakukan operasi pada sebelah telinga. Pada atresia liang telinga unilateral, operasi sebaiknya dilakukan setelah dewasa, yaitu pada umur 15-17 tahun. Operasi dilakukan dengan bedah mikro telinga.

Apa saja yang dilakukan dokter selama proses rekonstruksi daun telinga? Pertama dokter akan melihat posisi daun telinga pasien (apakah unilateral/bilateral), jika keadaannya unilateral, dokter akan membuat daun telinga simetris dengan telinga sebelahnya, ketika pasien dioperasi juga dilakukan evaluasi di meja operasi untuk membuat simetris antara bagian kiri dan kanan, operasi ini sangat membutuhkan kehati-hatian dan ekstra pengukuran. Di RSUI biasanya menggunakan teknik Nagata yaitu prosesnya ada dua tahapan, tahap pertama yaitu dokter akan mengambil tulang rawan iga yang kemudian dibentuk dan disesuaikan. Setelah itu tulang ini akan ditanamkan pada area implan dan dibuat bertekanan negatif selama satu minggu. Kemudian pada tahap kedua, setelah minimal tiga bulan, telinga buatan yang ditanam akan diangkat dan ditutup/ditanamkan skin graft atau kulit yang biasanya diambil dari bagian paha, dan dokter akan membuat jarak dengan bagian mastoid (minimal 2 cm dari mastoid).

Mikrotia dan kelainan kongenital daun telinga serta liang telinga dapat dilakukan rekonstruksi. Dalam proses rekonstruksi ini diperlukan suatu tim untuk penanganan komprehensif, mulai dari penanganan rekonstruksi daun telinga untuk mendapatkan estetik yang baik, penanganan untuk mendapatkan fungsi pendengaran yang lebih baik, serta penanganan aspek psikologis bagi pasien dan keluarga.

“Proses ini adalah perjalanan yang panjang, jarak antara operasi kesatu ke operasi kedua 2 membutuhkan waktu sekitar 3-6 bulan, dan selama itu harus kontrol terus ke dokter, sehingga membutuhkan kerjasama dari pasien dan keluarga agar semua dapat berjalan dengan baik” jelasnya.

Narasumber ketiga yaitu Dr. dr. Fikri Mirza P., Sp.THT-KL(K) yakni seorang dokter spesialis THT-KL di RSUI. Dokter Fikri membawakan materi dengan tema “Tata Laksana Gangguan Dengar Pasien Mikrotia dan Atresia Liang Telinga”. Dokter Fikri mengawali materi dengan menjelaskan efek dari gangguan pendengaran. Gangguan pada dua sisi telinga dapat menyebabkan terjadinya gangguan komunikasi dan pembentukan Bahasa, sementara jika satu sisi yang mengalami gangguan (terutama sisi yang aktif), dapat menyebabkan gangguan belajar dan konsentrasi. Pada masa lalu hanya ada pilihan operasi membuat liang telinga (atresiaplasty), namun saat ini sudah banyak pilihan.

Terdapat tiga  prinsip tata laksana pendengaran pada pasien atresia liang telinga, yaitu (1) apakah atresia pada satu sisi atau dua sisi? (2) Bagaimana ambang dengar, serta (3) Adakah kelainan struktur telinga tengah/dalam? Tata laksana ini dilakukan untuk mengevaluasi fungsi pendengaran dan struktur organ pendengaran. Alur tata laksana ini menyesuaikan usia pasien serta sisi telinga yang mengalami permasalahan (1 sisi atau 2 sisi).

Dokter Fikri menyebutkan beberapa pilihan tata laksana yang dapat dipilih, diantaranya 1) operasi pembuatan liang telinga (atresiaplasty), operasi ini memiliki risiko menyempit berulang sebesar 20-50% sehingga membutuhkan operasi berulang; 2) alat bantu dengar konduksi tulang, yang prinsip kerjanya yaitu mengubah suara menjadi getaran bunyi yang dihantarkan melalui tulang kepala. Dengan alat ini tidak memerlukan tindakan operasi dan harga yang lebih murah, namun kekurangannya yaitu dapat terjadi iritasi kulit akibat sering lepas pasang dan menimbulkan ketidaknyamanan pada anak kecil karena alat ini agak berat; 3) alat bantu dengar konduksi tulang ditanam, yang diindikasikan pada atresia liang tengah dengan kelainan pada struktur telinga tengah. Namun tata laksana ini juga memerlukan pertimbangan terkait ukuran tulang mastoid tempat alat ditanam, serta membutuhkan perawatan pasca operasi.

 “Pilihan tata laksana pendengaran pada atresia liang telinga bertujuan untuk mendapatkan hasil terbaik dengan morbiditas seminimal mungkin pada anak. Semua pilihan ini memiliki kelebihan dan kelemahannya masing-masing, keluarga sebaiknya memahami konsekuensi tiap pilihan tersebut” ujarnya.

Antusiasme masyarakat cukup tinggi terhadap kegiatan ini, terdiri dari remaja, orangtua, guru, kader kesehatan, dan lain-lain. Forum webinar online membuat beberapa penyimak dari berbagai provinsi di luar pulau Jawa, hingga Papua, turut menghadirinya. Banyak peserta yang mengajukan pertanyaan seputar tema yang tengah dibahas. RSUI berharap kegiatan Seminar Awam Bicara Sehat Virtual ini dapat terus hadir sebagai salah satu upaya promotif dan preventif kepada masyarakat luas. Untuk mendapatkan informasi terkait pelaksanaan seminar Bicara Sehat selanjutnya dapat dipantau melalui website dan media sosial RSUI.

Siaran ulang dari seminar awam ini dapat juga disaksikan di channel Youtube RSUI pada link berikut: https://www.youtube.com/watch?v=o8lJZyjrhzk  Sampai bertemu kembali di ajang berikutnya!

Lampiran Berita Terkait: