Stroke merupakan kerusakan struktural otak yang disebabkan oleh tersumbat atau pecahnya pembuluh darah di otak. Berdasarkan data riset kesehatan dasar (RISKESDAS) tahun 2018, Indonesia memiliki angka prevalensi stroke yang tinggi yaitu 10,9 permil dan memegang angka kematian tertinggi pertama di Asia Tenggara. Dengan tingginya angka kejadian dan kematian stroke di Indonesia, sangatlah diperlukan kesadaran dan kewaspadaan masyarakat terhadap tanda, gejala dan penanganan segera pada orang yang mengalami stroke. Beberapa tanda dan gejala yang sering ditemukan pada penderita stroke seperti mulut mencong, bicara pelo atau kelemahan satu sisi tubuh. Namun tahukah anda jika kejang juga merupakan salah satu alarm terjadinya stroke?
Apa Itu Kejang?
Kejang adalah gejala gangguan saraf di otak berupa perubahan kesadaran/perilaku, perasaan, dan/atau gerakan (kaku dan/atau kelojotan), yang timbul mendadak, tidak terkontrol, timbul dalam durasi singkat dan dapat berulang. Kejang disebabkan adanya aktivitas elektrik di otak yang berlebihan karena kelainan di struktur otak atau sistem metabolik tubuh. Kejang dapat merupakan sebuah penanda awal perubahan atau kerusakan di otak. Apabila kejang tidak segera dihentikan dapat menimbulkan kerusakan lanjutan di otak sehingga memperburuk kondisi penyakit, meningkatkan disabilitas bahkan kematian. Mitos yang beredar di masyarakat yang menganggap kejang sebagai kejadian mistis atau gaib menyebabkan penderita tidak segera dibawa ke pelayanan kesehatan untuk mendapatkan penanganan yang optimal.
Kejang sebagai Penanda Kejadian Stroke?
Kejang paling sering disebabkan oleh stroke yaitu 6,9%-15% penderita stroke dan 14% dari seluruh penyakit saraf terutama kejang yang bersifat akut (acute symptomatic seizure) atau kejang yang timbul dalam 2 tahun pertama setelah terjadinya stroke (remote symptomatic seizure)
Penderita stroke dapat memiliki berbagai bentuk kejang yaitu kejang yang berupa gangguan sensorik (sensasi rasa), gerakan kaku, menyentak, dan/atau kelojotan yang dimulai di satu sisi atau satu bagian tubuh. Ada pula kejang yang berupa perubahan kesadaran ataupun perilaku sesaat seperti melakukan gerakan tidak bertujuan hingga bicara meracau. Penting bagi anggota keluarga untuk mengenali, mengamati/merekam, dan mendeskripsikan variasi bentuk kejang agar dapat membantu tenaga kesehatan untuk mendiagnosis kelainan otak, memberikan tatalaksana, mencegah perburukan kondisi stroke, dan menurunkan disabilitas serta angka kematian akibat stroke.
Selain bentuk kejang, perlu juga diperhatikan apakah terdapat gejala lain yang timbul mendadak bersamaan ataupun setelah kejang, yang biasa disingkat sebagai SeGeRa Ke RS, yaitu, Senyum tidak simetris, Gerakan separuh tubuh melemah, BicaRa pelo, Kebas separuh tubuh, Rabun/pandangan kabur mendadak, dan Sakit kepala hebat yang timbul mendadak serta tidak pernah dirasakan sebelumnya.
Pertolongan Pertama Jika Terjadi Kejang
Beberapa hal yang dapat dilakukan jika mengalami kejang yaitu:
- Baringkan tubuh penderita di tempat aman sambil memanggil bantuan
- Singkirkan benda berbahaya di sekitar penderita untuk mencegah terjadinya cedera selama kejang
- Miringkan tubuh penderita ke satu sisi dan letakan bantal atau benda empuk lainnya di area kepala untuk mencegah terjadinya tersedak
- Longgarkan pakaian penderita jika terlalu ketat, terutama di area leher.
- Jangan memasukan benda apapun (sendok, kain, handuk) ke dalam mulut penderita!
- Dampingi penderita hingga tim medis tiba atau kejang berhenti
- Jika kejang sudah berhenti, posisikan dalam posisi nyaman dan jangan berikan makan atau minum hingga kembali sadar penuh.
Selanjutnya segera bawa penderita ke pelayanan kesehatan terdekat untuk mendapatkan penanganan yang tepat dan optimal.
Apakah Jika Terjadi Kejang Akibat Stroke Sama Dengan Epilepsi?
Perlu dipahami bahwa kejang tidak sama dengan epilepsi. Kejang merupakan salah satu gejala epilepsi namun tidak semua kejang akan menjadi epilepsi. Kejang yang terjadi pada fase akut stroke memiliki risiko mengalami epilepsi sebesar 30%. Menyatakan kondisi epilepsi pada penderita stroke akan memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap berbagai aspek hidup penderita stroke seperti perlunya konsumsi obat anti bangkitan (OAB) jangka panjang, meningkatkan kemungkinan gangguan fungsi kognitif dan kemampuan mengoperasikan alat berbahaya serta berkendara. Oleh karena itu, diperlukan evaluasi yang mendalam dan menyeluruh untuk menentukan dan mengevaluasi kejadian epilepsi pada penderita stroke seperti pemeriksaan pencitraan otak ulang dan elektroensefalogram (EEG) 3-6 bulan setelah terjadinya stroke.
Kejang merupakan salah satu alarm dari penyakit stroke. Selain itu, terdapat gejala lain dari penyakit stroke yang disingkat menjadi SeGeRa Ke RS seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Apabila Anda mengalami gejala terkait stroke jangan ragu untuk bertanya dan berkonsultasi dengan dokter spesialis saraf di RSUI. RSUI juga memiliki pelayanan neurorestorasi untuk pengobatan dan pemulihan pasien stroke.
Artikel dipublikasikan juga pada Buletin Bicara Sehat Edisi 5, yang dapat di akses melalui (KLIK)
1. Kemenkes RI. Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2018. Kementrian Kesehat RI. 2018;53(9):1689–99.
2. Trinka E, Kwan P, Lee B, Dash A. Epilepsy in Asia: Disease burden, management barriers, and challenges. Epilepsia [Internet]. 2019 Mar;60(February 2017):7–21. Available from: http://doi.wiley.com/10.1111/epi.14458
3. World Health Organization Report. Epilepsy. 2022;(February):1–5.
4. Venketasubramanian N, Yudiarto FL, Tugasworo D. Stroke Burden and Stroke Services in Indonesia. Cerebrovasc Dis Extra. 2022;12(1):53–7.
5. Mauritz M, Hirsch LJ, Camfield P, Chin R, Nardone R, Lattanzi S, et al. Acute symptomatic seizures: an educational, evidence-based review. Epileptic Disord. 2022;24(1):26–49.
6. Galovic M, Ferreira-Atuesta C, Abraira L, Döhler N, Sinka L, Brigo F, et al. Seizures and Epilepsy After Stroke: Epidemiology, Biomarkers and Management. Drugs and Aging [Internet]. 2021;38(4):285–99. Available from: https://doi.org/10.1007/s40266-021-00837-7