(021) 50829292 (IGD) (021) 50829282 Pencarian

Penetrasi Society 5.0 Dalam Pencegahan Dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular

Pembangunan manusia menjadi fokus pemerintah dalam RPJMN 2020-2024. Diharapkan segala program pemerintah baik pusat maupun daerah mampu menggenjot potensi modal manusia (human capital) hingga  berkah bonus demografi termanisfestasi. Namun berkah tersebut terasa absurd, apabila kondisi kesehatan penduduk Indonesia justru kontras dengan prestasi yang dihasilkan pemerintah. Padahal secara ekonomi, kesehatan manusia baik sebagai warga negara maupun pekerja adalah hal penting untuk persaingan di tingkat global.

Fakta menunjukkan bahwa Indonesia saat ini sedang mengalami double burden diseases, yaitu beban Penyakit Tidak Menular (PTM) dan Penyakit Menular sekaligus. Dalam dua dekade terakhir telah terjadi transisi epidemiologis yang signifikan, yakni penyakit tidak menular telah menjadi beban utama, sementara beban penyakit menular masih berat juga. Inilah yang menjadi temuan background study RPJMN 2020-2024 di lingkungan strategis bidang kesehatan.

Ada diktum menarik yang disampaikan Prof. Arif Rahman, dosen UNJ beberapa belas tahun silam. Beliau pernah menunturkan dalam sebuah seminar pendidikan yang saya ikuti, bahwa  menurutnya guru yang sehat lebih baik daripada guru yang pintar. Terkesan sederhana, namun benar. Guru sehat akan mengajar lebih optimal dan berenergi serta semangat menjalankan tugas mulia. Bagaimana mungkin membangun manusia, namun yang membangun maupun yang akan dibangun, lesu dan tak bersemangat.

Dalam penelitian Dyah Purnamasari yang dikutip dari Jurnal Acta Medica Indonesiana Volume 50 Nomor 4 (2018) dikemukakan bahwa angka kematian di Indonesia didominasi oleh PTM. Perubahan lingkungan, teknologi dan gaya hidup telah mengubah pola penyakit di Indonesia menjadi didominasi oleh PTM seperti diabetes melitus, penyakit jantung, dislipidemia, obesitas, penyakit ginjal, penyakit paru-paru, dan tumor.

Menurut data Sample Registration System (SRS) Indonesia tahun 2014 diketahui bahwa 10 penyakit yang paling umum adalah stroke (21,1%), penyakit jantung (12,9%), diabetes mellitus (6,7%), TBC (5,7%), komplikasi tekanan darah tinggi (5,3%), penyakit paru-paru kronis (4,9%), penyakit hati (2,7%), kecelakaan lalu lintas (2,6%), pneumonia (2,1%), dan kombinasi diare dan gastroenteritis akibat infeksi (1,9%). Dalam skala global, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), lebih dari 36 juta orang meninggal setiap tahun akibat PTM, mewakili lebih dari 60% kematian di seluruh dunia, 15 juta di antaranya terjadi sebelum umur 70 tahun.

Dalam SDGs, Indonesia memiliki target pada tahun 2030 di bidang kesehatan – yang secara linier bersinggungan pula dengan Window of Opportunity bonus demografi – diantaranya menurunkan sepertiga kematian dini karena PTM yang berfokus pada 4 PTM utama penyebab 60 persen kematian, yaitu: kardiovaskuler, diabetes melitus, kanker, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), dan pengendalian 4 faktor risiko bersama yang dapat mencegah PTM sampai 80 persen: diet tidak sehat, kurang aktivitas fisik, merokok, dan mengkonsumsi alkohol.

PTM dan kelompok rentan

Faktor risiko untuk PTM dipengaruhi oleh faktor-faktor penentu sosial ekonomi kesehatan yang memperburuk kesenjangan kesehatan, dengan kelompok yang paling rentan dan terpinggirkan. Kita patut berbangga karena per Januari 2019 peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mencapai 81,4 persen dari total seluruh penduduk Indonesia.

Kondisi kelompok rentan yang signifikan hampir di setiap daerah memunculkan kebijakan untuk menyelenggarakan Pos Pembinaan Terpadu PTM di bawah pembinaan Puskesmas. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2015 Tentang Penanggulangan Penyakit Tidak Menular  pasal 20 menyatakan bahwa:

Masyarakat baik secara perorangan maupun kelompok berperan aktif dalam Penanggulangan PTM.
Peran serta masyarakat sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui kegiatan Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM) dengan membentuk dan mengembangkan Pos Pembinaan Terpadu PTM (Posbindu PTM).
Pada Pos Pembinaan Terpadu PTM (Posbindu PTM) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilaksanakan kegiatan deteksi dini, monitoring dan tindak lanjut dini faktor risiko PTM secara mandiri dan berkesinambungan di bawah pembinaan Puskesmas.
Per Desember 2017, jumlah Posbindu PTM telah mencapai 33.679 di seluruh Indonesia.

Namun eksistensi Posbindu PTM masih perlu terus disempurnakan. Sebagai contoh, penelitian dari Riri Astika Indriani (2018) yang memotret cakupan kegiatan Posbindu PTM di wilayah Puskesmas Helvetia di Kota Medan sangat rendah yaitu dibawah 1%. Ini mengindikasikan bahwa Posbindu tersebut belum berjalan efektif dan efisien.

Berbeda dengan Kota Depok, penelitian Krishnan (2010) menunjukkan bahwa struktur masyarakat di Depok menunjukkan pengaturan yang jauh lebih terorganisir dan menghasilkan tingkat keterlibatan yang lebih tinggi dari pemerintah daerah untuk mengikuti Posbindu. Dengan perbandingan seperti ini, antar Posbindu dapat saling belajar dan pemerintah daerah harus lebih berinisiasi untuk menopang Posbindu yang belum terkelola dengan baik, seperti perilaku petugas kesehatan, perilaku kader dan fasilitas pelayanan di Posbindu ditingkatkan. Hal ini untuk mengakomodir kelompok rentan agar mendapatkan layanan kesehatan memadai.

Dalam penganggaran di bidang kesehatan, laporan World Economic Forum dan Harvard School of Public Health (Bloom DE, 2011) memperkirakan bahwa kehilangan output kumulatif akibat penyakit kardiovaskular, penyakit pernapasan kronis, kanker, diabetes dan kesehatan mental di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah akan lebih dari $ 47tn (£ 36tn; € 42tn). Namun, negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah yang menerapkan intervensi biaya yang efektif (pembelian terbaik) segera akan melihat pengembalian $ 7 per orang pada tahun 2030 untuk setiap dolar yang diinvestasikan (WHO, 2018). Itu artinya PTM bisa membebani anggaran negara dan juga sebaliknya dapat dicegah untuk menghemat pengeluaran  negara.

Jika dicermati tren anggaran kesehatan 2014-2019 bahwa proporsi anggaran kesehatan naik 1,7% dari semula 3,3% pada tahun 2014 menjadi 5% pada tahun 2016 dan tetap dijaga proporsinya 5 % dari APBN hingga tahun 2019. Proporsi anggaran kemenkes dan DAK Kesehatan terhadap APBN naik 0,7% pada periode tahun 2014 s.d 2019. Namun proporsi anggaran Kemenkes terhadap APBN menurun 0,3% pada periode 2014 s.d 2019, sementara faktanya, PTM terus meningkat dalam dua dekade terakhir. Jika anggaran kesehatan menurun dalam RPJMN 2020-2024, secara empirik, turunnya Total Health Expenditure per Capita juga berdampak pada menurunnya Umur Harapan Hidup Sehat (Healthy Life Expentancy at Births/HALE) penduduk.

Seperti dikemukakan Prof. Budi Hidayat dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, pasien jantung naik dari 385.500 orang (2014) menjadi 520.000 orang (2015), sedangkan jumlah kunjungan pasien jantung naik dari 1,36 juta menjadi 1,39 juta. Anggaran BPJS Kesehatan sebesar Rp 5,462 triliun habis untuk menanggung klaim bagi pasien penyakit jantung; Rp 1,6 triliun untuk pasien gagal ginjal; dan Rp 1,3 triliun untuk pasien kanker, dengan total mencapai Rp 5,85 triliun. Di sisi lain, penduduk Indonesia di tahun 2035 diproyeksikan mencapai 305 juta penduduk, sehingga memicu beban ganda. Dengan kondisi tersebut, keterlibatan masyarakat menjadi penting dalam mencegah dan mengendalikan semakin meningkatnya jumlah penderita PTM dari tahun ke tahun.

Prinsip tindakan berbasis masyarakat tidak hanya menargetkan masyarakat untuk membawa perubahan perilaku. Ini termasuk juga memberdayakan masyarakat, mendorongnya untuk bertindak sebagai agen perubahan dan mendorongnya untuk menggunakan sumber dayanya sendiri untuk bertindak (Baker et al., 1998). Prinsip keterlibatan masyarakat harus simple dan menyesuaikan dengan perkembangan sosial budaya dalam masyarakat. Era digital yang saat ini sedang tumbuh dan berproses bagi kaum milenial dan gen Z berpeluang menjadikan germas menjadi motor penggerak dalam mencegah dan mengendalikan PTM lebih massif.

Penetrasi Society 5.0

Era society 5.0 pertama kali diperkenalkan oleh perdana menteri Jepang Shinzo Abe dengan tujuan menyeimbangkan kemajuan teknologi dengan penyelesaian masalah sosial yang terintegrasi.  Jepang saat ini sedang menghadapi masyarakat yang menua di tengah negara-negara lain. Negara ini menderita karena meningkatnya biaya dan tuntutan keamanan medis dan sosial untuk merawat orang tua.

Dengan tingkat kelahiran yang menurun ditambah dengan peningkatan populasi senior, Jepang menghadapi angkatan kerja yang menyusut dan meningkatnya biaya jaminan sosial. Indonesia jelas memiliki bonus demografi yang kontras dengan kondisi Jepang. Ini peluang bagaimana society 5.0 dapat dimulai dengan membangun kontruksi teknologi yang secara praktis membantu proses layanan kesehatan.

Tantangan muncul apakah generasi muda siap menghadapi bonus demografi. Menurut Menteri Kesehatan dalam Dialog Nasional Kurang Gizi Terselubung Menuai Generasi Hilang, di Kantor Kementerian Kesehatan, Jakarta (27/7/2016) bagaimana memastikan kelompok penduduk usia anak (0-18 tahun) yang ada pada saat ini, dalam 10-20 tahun ke depan (pada masa window of opportunity), akan menjadi kelompok yang menentukan apakah bonus demografi akan menjadi berkah atau justru sebaliknya akan menjadi bencana.

Society 5.0 merupakan konsep teknologi masyarakat yang berpusat pada manusia dan berkolaborasi dengan teknologi (AI dan IoT) untuk menyelesaikan masalah sosial yang terintegrasi pada ruang dunia maya dan nyata, dan menyelaraskan secara signifikan hubungan keduanya hingga tidak ada dusta di antara mereka. Istilahnya, apa yang dikatakan selaras dengan perbuatan.

Teknologi digital dengan jejaring sosial yang menyertainya, memungkinkan adanya penetrasi gerakan masyarakat sebagaimana society 5.0, masyarakat super pintar yang merupakan tahapan akhir dari perkembangan society 1.0 (berburu), society 2.0 (bertani), society 3.0 (industri), dan society 4.0 (informasi) dan akan terus berproses untuk memudahkan masyarakat mendapatkan layanan kesehatan yang efektif dan efisien.

Pada kenyataannya, teknologi belum berkawan akrab dengan kita. Teknologi masih sebatas digunakan secara konsumtif dan masih menjadi rencana dalam rencana. Pada sebagian rumah sakit mungkin dapat dirasakan penderitaan peserta BPJS yang masih harus mengantri sejak subuh dini hari agar mendapat perawatan dengan kuota tidak lebih dari 10-20 pasien per harinya. Bagaimana dengan kelompok rentan yang kesulitan akses dan bahkan belum menjadi peserta JKN?  Jelas, teknologi belum terlibat dan menjadi solusi dari keterbatasan jarak dan waktu.

Membangun manusia, berarti membangun masyarakat, yang saling terintegrasi satu sama lainnya. Teknologi digital yang sudah lebih dulu tiba dalam komunikasi sosial antar individu menjadi peluang bagaimana pengendalian PTM dapat lebih optimal dilaksanakan dalam memberikan sosialisasi untuk mencegah kesakitan dan kematian akibat PTM. 

Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) yang menemukan jumlah pengguna internet di Indonesia pada tahun 2018 mencapai 171,18 juta jiwa atau tumbuh 27,91 juta dibanding sebelumnya. Laporan Digital 2019 keluaran Hootsuite (We are Social) memperlihatkan, jumlah pengguna Facebook Indonesia berada di urutan ketiga tertinggi di dunia dari total keseluruhan pengguna yang mencapai 1,887 miliar.

Salah satu cara memperluas jangkauan Posbindu PTM selama ini hanya dengan pendekatan berdasarkan 7 tatanan yaitu: sekolah, tempat kerja, haji, tempat umum, fasilitas kesehatan, kantor lintas sektor, rumah ibadah. Dengan pesatnya pengguna jejaring sosial seperti facebook, twitter, whatsapp, Posbindu PTM dapat memanfaatkan jejaring sosial tersebut untuk menginformasikan dan mensosialisasikan cara hidup sehat melalui teks, gambar, maupun video, yang variatif dan edutainment, sehingga tidak monoton dan membosankan. Germas versi digital akan semakin mengikat individu untuk selalu mendapatkan email notification berupa informasi terbaru terkait PTM.

Sosialisasi ini menyasar bukan hanya bagi penderita PTM namun juga masyarakat yang belum menderita PTM. Dalam hal ini, dengan kata lain, masyarakat menjadi lebih pintar untuk memilih makanan apa yang perlu mereka konsumsi untuk mencegah PTM dan aneka tips penting lainnya untuk membantu masyarakat menjaga kesehatan secara mandiri. 

Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan agar gerakan masyarakat untuk mencegah dan mengendalikan PTM berjalan secara efektif dan efisien, diantaranya:

Pertama, kenali pola hidup masyarakat dengan mengobservasi tempat-tempat yang sudah ada, seperti sekolah, tempat kerja, dan ruang ibadah untuk mendeteksi PTM sekaligus mensosialisasikan PTM. Tidak mungkin membina koalisi, visi, dan pemberdayaan publik sebelum mengenal masyarakatnya. Mendeteksi ruang nyata penting dilakukan sebelum beraksi di ruang maya. 

Kedua, libatkan pengambil kebijakan dan  tokoh masyarakat lokal dengan melakukan dialog terlebih dahulu. Ini agak susah-susah gampang. Masjid dekat tempat saya tinggal di Cimanggis, Depok tampaknya para ustadz sudah biasa merokok di ruang ibadah. Ini seperti sudah mendarah daging. Dengan melibatkan tokoh, setidaknya sosialisasi PTM akan mendapat dukungan. Mungkin bisa sedikit diceritakan bagaimana perlu dicatat perilaku disruptif walikota Bogor yang memutuskan kotanya bersih dari cengkraman iklan rokok ternyata justru mendatangkan lebih banyak sumber penghasilan baru.

Ketiga, jadikan jejaring sosial sebagai alat komunikasi efektif dengan masyarakat. Jika 36-ribuan Posbindu menyebarluaskan informasi melalui instagram, facebook, dan twitter, tentu pendekatan sosialisasi secara massif dapat dilakukan. Milenial dan gen Z perlu lebih dari sekadar teks, namun bagaimana kontekstualisasi gaya hidup sehat tersebut juga dapat dinarasikan dalam sebuah cerita atau video yang dapat mempengaruhi mindset mereka tentang PTM dan dapat mengurangi perilaku hidup tidak sehat, misalkan jarang olahraga, makan berlebihan, pentingnya makan sayur dan buah, dan lainnya.

Keempat, database penderita PTM dijadikan basis data untuk melakukan usaha preventif kesehatan. Di Makassar sebagai contoh terdapat Home Care yang  merupakan fasilitas kesehatan dalam mobil yang beroperasi selama 24 jam dan berpindah-pindah. Mobil itu kemudian diberi nama Dottoro’ta, yang dalam bahasa lokal berarti “Dokter Kita”. Inisiasi smart city kota Makassar merupakan bentuk jemput bola terkhusus bagi kelompok rentah dan secepat mungkin mendapat tindakan medis jika diperlukan.

Pada akhirnya, kita harus menyadari bahwa cara-cara konvensional (klasik) tidak mungkin dapat lagi digunakan dalam pendekatan public health alias ilmu kesehatan masyarakat diterapkan pada zaman yang menurut Anthony Giddens berada dalam fase tunggang langgang, tanpa arah, dan tak menentu dalam bukunya The Runaway World.

Pengembangan teknologi pada era Society 5.0 adalah langkah Jepang untuk memenuhi layanan kesehatan dan pendidikan agar bisa menyentuh daerah-daerah terpencil secara merata. Kita sekarang berada di era society 5.0.  Sementara, globalisasi dan evolusi cepat teknologi digital seperti Internet of Things (IoT), kecerdasan buatan (AI) dan robotika membawa perubahan signifikan bagi masyarakat. Tidak ada seorangpun yang imun dengan perubahan ini. Bahkan saya pernah melihat tukang sampah hingga profesi yang dianggap rendah sekalipun memiliki facebook ataupun whatsapp. 

Saat ini, Kemenkes telah berinisiatif untuk membangun sistem PTM berbasis web di Posbindu PTM dan Puskesmas. Sistem pengawasan PTM tersebut diselaraskan dengan sistem informasi kesehatan, P-Care (aplikasi digital JKN) dan sistem informasi berdasarkan populasi. Sebagai tambahan, telah dikembangkan sistem survailans aplikasi ponsel. Hanya saja, sistem melalui aplikasi dan teknologi untuk mendeteksi kesehatan pribadi belum massif dikembangkan di Indonesia, dan belum terintegrasi dengan rumah sakit besar. Untuk daerah terpencil, teknologi kesehatan (mHealth) melalui perangkat seluler akan sangat membantu bagaimana data PTM yang tersedia menjadi acuan penganggaran PTM di tahun berikutnya.

Penelitian Kazi (2016) mengemukakan bahwa teknologi kesehatan seluler (mHealth) memiliki potensi untuk mengubah pemberian layanan kesehatan: di mana-mana dan biaya marjinal rendah membuatnya sangat terukur dan berpotensi hemat biaya. Sebaliknya, teknologi mHealth yang dirancang dengan buruk dapat mengakibatkan pengguna yang tidak puas, retensi yang buruk, efektivitas berkurang dan biaya kesalahan meningkat. Tentu saja, mHealth harus menarik minat masyarakat, untuk mendeteksi sejak dini riwayat penyakit seseorang dalam populasi (demografi) tertentu dan perlakuan seperti apa yang diperlukan dan informasi kesehatan apa yang perlu disosialisasikan sesuai dengan data lapangan. Ini sesuai dengan arahan WHO dalam pedoman rekomendasi tentang intervensi digital untuk penguatan sistem kesehatan yang diterbitkan tahun 2019.

Era disrupsi telah tiba. Produk lembaga kesehatan maupun program layanan kesehatan sudah saatnya meninggalkan cara-cara usang yang hanya berhenti dalam deklarasi-sosialisasi. Menumbuhkan perilaku disruptif  menjadi bagian penting dalam mengelola germas, bukan sekadar slogan proyek dan bagi-bagi goody bag, namun mengubah mindset germas sebagai produk sosial yang sarat kemaslahatan.

Refrensi:

Baker, E. A. and Brownson, C. A. (1998). Defining characteristics of community-based health promotion programs. Journal of Public Health Management Practice, 4, 1–9.
Bloom DE, Cafiero ET, Jane-Llopis E, et al. The Global Economic Burden of Non-Communicable Diseases. World Economic Forum, 2011
Dhruv S. Kazi, P. Gregg Greenough, Rishi Madhok, Aaron Heerboth, Ahmed Shaikh, Jennifer Leaning, Satchit Balsari, Using mobile technology to optimize disease surveillance and healthcare delivery at mass gatherings: a case study from India's Kumbh Mela, Journal of Public Health, Volume 39, Issue 3, September 2017, Pages 616–624, https://doi.org/10.1093/pubmed/fdw091
Giddens, Anthony. (2003). Runaway World : How Globalization Is Reshaping Our Lives. New York : Routledge
http://p2ptm.kemkes.go.id/uploads/VHcrbkVobjRzUDN3UCs4eUJ0dVBndz09/2017/10/PTM_Pencegahan_dan_Pengendalian_Penyakit_Tidak_Menular_di_Indonesia_2017_01_16.pdf
https://www.kabarmakassar.com/posts/view/5222/menuju-kota-dunia-makassar-harusnya-terapkan-society-5-0-bukan-society-4-0.html
Indonesia. Kementerian Kesehatan RI. Sekretariat Jenderal Indonesia Pedoman Umum Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI., 2016
Krishnan, A, Garg, R, Kahadaliyanage, A 2013, ‘Hypertension in the sount–east asian region : an overview’, Regional Health Forumvol. 17, no.1, hlm.7-14.
Purnamasari, Dyah. The Emergence of Non-communicable Disease in Indonesia. Jurnal Acta Medica Indonesiana. Vol 50.  Number 4.  October 2018
WHO. Time To Deliver: Report of The Who Independent High-Level Commission on Non Communicable Diseases. 2018. https://www.who.int/ncds/management/time-to-deliver/en/
WHO. guideline recommendations on digital interventions for health system strengthening. 2019
source foto: https://www.freepik.com/