Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit tidak menular yang terjadi akibat gangguan sekresi insulin oleh pankreas dan atau kelainan kerja insulin di organ target. Penyakit ini ditandai dengan peningkatan kadar glukosa dalam darah atau disebut sebagai hiperglikemia. (1) DM menjadi salah satu ancaman kesehatan global dan prevalensinya di Indonesia mencapai 8,5% dari total penduduk.
DM akan memberikan dampak serius terhadap kualitas sumber daya manusia akibat banyaknya komplikasi yang mungkin terjadi. Hal ini membawa kerugian ekonomi bagi penyandang DM dan keluarganya. Komplikasi yang dapat terjadi akibat DM adalah gangguan pembuluh darah baik pembuluh darah besar (makrovaskular) maupun pembuluh darah kecil (mikrovaskular), dan gangguan di sistem saraf (neuropati).
Salah satu bentuk komplikasi mikrovaskuler terjadi di organ mata yang disebut sebagai retinopati diabetik (RD). Data menunjukkan satu dari tiga penyandang DM yang tidak terkontrol mengalami RD.(3) RD merupakan kondisi mata pada penyandang DM yang dapat menyebabkan gangguan penglihatan bahkan kebutaan akibat kerusakan pembuluh darah retina .
Penyandang DM >5 tahun akan mengalami peningkatan risiko terkena RD. Pada awal perjalanan RD, penyandang DM tidak mengalami keluhan. Seiring perkembangan penyakit DM, penderita akan mengeluhkan melihat bayangan berbentuk bintik atau garis yang tampak mengambang pada penglihatan (floaters), penglihatan kabur, melihat area gelap pada penglihatan, adanya gangguan penglihatan di malam hari, hingga hilang penglihatan.
Diagnosis RD dapat ditegakkan melalui pemeriksaan funduskopi. Dari pemeriksaan funduskopi, dapat dilihat adanya titik-titik berwarna kemerahan yang merupakan pembengkakan pembuluh darah berukuran mikro di retina (mikroaneurisma), perdarahan, eksudat (tumpukan lipid dalam retina), dan pembentukan pembuluh darah baru (neovaskularisasi). Pada tahap lanjut dapat terjadi diabetik makular edema (DME) yang ditandai dengan pembengkakan/penebalan di area retina dengan sel penglihatan terbanyak atau disebut sebagai area makula. yang akan menyebabkan hilangnya penglihatan penyandang RD. Diagnosis dapat ditunjang juga dengan pemeriksaan biomikroskopi, ultrasonografi (USG) B-Scan, optical coherence tomography (OCT), dan angiografi fluorescein.
Tatalaksana RD sangat beragam. Namun, hal yang penting dalam pengobatan RD adalah mengontrol gula darah dengan obat-obatan serta modifikasi gaya hidup. Selain itu, pilihan terapi lain adalah: obat-obatan, laser fotokoagulasi, operasi vitrektomi hingga cryotherapy. Semua pilihan terapi akan dipertimbangkan oleh dokter spesialis mata sesuai dengan derajat penyakit dan kondisi pasien.
Pencegahan RD
Faktor risiko RD antara lain lamanya menyandang diabetes, kontrol gula darah yang buruk (kadar HbA1C yang tinggi), adanya hipertensi, dislipidemia, Body Mass Index (BMI) tinggi, pubertas, kehamilan, dan pasca operasi katarak.
American Academy of Ophthalmology (AAO) merekomendasikan pemeriksaan skrining RD secara rutin untuk penyandang DM. Program skrining bertujuan untuk mendeteksi lebih awal kelainan retina akibat DM, mengingat pada fase awal RD tidak didapatkan gejala padahal sudah terdapat kelainan di retina sehingga tatalaksana bisa lebih optimal. Adapun panduan pemeriksaan tersebut yaitu:
Penyandang DM tipe 1 disarankan skrining RD dalam 5 tahun setelah terdiagnosis dan berikutnya satu kali setiap tahun.
Penyandang DM tipe 2 disarankan skrining RD segera setelah terdiagnosis DM dan berikutnya satu kali setiap tahun
Penyandang DM yang sedang hamil disarankan skrining RD pada trimester pertama dan dilakukan pemantauan ketat
Pemeriksaan retina biasanya dilakukan oleh dokter spesialis mata menggunakan oftalmoskop atau slit lamp biomicroscopy. Namun saat ini, sudah dikembangkan fotografi fundus yang terkoneksi dengan bantuan kecerdasan buatan sehingga dapat dianalisis oleh dokter spesialis mata dari jarak jauh. Alat tersebut dapat menjadi alternatif untuk meluaskan jangkauan pelayanan pasien dan dapat diimplementasikan di klinik layanan primer.
Retinopati diabetik merupakan ancaman kesehatan yang berpotensi menyebabkan kebutaan. Kelola faktor risiko serta deteksi dini dengan skrining rutin dapat menurunkan risiko kehilangan penglihatan penyandang DM. Jangan ragu untuk bertanya dan berkonsultasi dengan dokter di RSUI bila Anda mengalami retinopati diabetik. Sebelumnya, juga dapat buat janji dengan dokter melalui website atau nomor telepon RSUI, sehingga tidak perlu menunggu lama saat sesampainya di rumah sakit.
Referensi;
- Soelistijo SA, Lindarto D, Decroli E, Permana H, Sucipto KW, Kusnadi Y, et al. Pedoman Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 Dewasa di Indonesia. Jakarta:PB PERKENI;2019. 2. Kemenkes RI. Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2018. Kementrian Kesehatan RI. 2018;53(9):1689–99.
- Lee R, Wong TY, Sabanayagam C. Epidemiology of diabetic retinopathy, diabetic macular edema and related vision loss. Eye Vis (Lond). 2015;2:17. Doi: 10.1186/s40662-015-0026-2.
- Andayani G. Retinopati Diabetik. In: Ratna Sitompul RS, editor. Buku Ajar Oftalmologi UI. 1st ed. Jakarta: Universitas Indonesia Publishing; 2020. p. 210–3.
- Shukla UV, Tripathy K. Diabetic Retinopathy. [Updated 2021 Aug 29]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-.
- Kollias AN, Ulbig MW. Diabetic retinopathy: Early diagnosis and effective treatment. Dtsch Arztebl Int. 2010;107:75-84. doi:10.3238/arztebl.2010.0075.
- Vujosevic S, Aldington SJ, Silva P, Hernández C, Scanlon P, Peto T, et al. Screening for diabetic retinopathy: new perspectives and challenges. Lancet Diabetes Endocrinol. 2020;8:337–47.
- Flaxel CJ, Adelman RA, Bailey ST, Fawzi A, Lim JI, Vemulakonda GA, et al. Diabetic Retinopathy Preferred Practice Pattern®. Ophthalmology. 2020;127:P66–145.
- Garg S, Jani PD, Kshirsagar A v, King B, Chaum E. Telemedicine and retinal imaging for improving diabetic retinopathy evaluation. Arch Intern Med. 2012;172:1677-8. doi: 10.1001/archinternmed.2012.4372.
- Skaggs JB, Zhang X, Olson DJ, Garg S, Davis RM. Screening for Diabetic Retinopathy: Strategies for Improving Patient Follow-up. N C Med J . 2017;78:121–3. doi: 10.18043/ncm.78.2.121
Artikel dipublikasikan juga pada Buletin Bicara Sehat Edisi 2, yang dapat di akses melalui (KLIK)